Pos Timur,
MAKASSAR - Di bawah kelamnya langit Makassar yang digantung bintang pudar, Jalan Urip Sumohardjo membara. Bukan oleh api sungguhan, melainkan oleh bara emosi, pekikan keadilan, dan desakan massa yang tumpah ruah pada malam Jumat, 29 Agustus 2025. Gelombang manusia itu bergerak, meneriakkan tuntutan, dan membawa serta beratnya beban hati atas peristiwa yang telah menelan korban jiwa. Aroma keringat, pasir jalanan yang terinjak, dan napas kemarahan mendidih di udara. Spanduk-spanduk bergoyang tertiup angin malam, lampu-lampu ponsel berkedip-kedip seperti kunang-kunang raksasa yang gelisah.
Tepat di tengah pusaran ketidakpuasan itu, sebuah mobil berhenti. Tanpa banyak seremoni, tanpa pengawalan berlebihan yang justru memicu amarah, sesosok pria beranjak keluar. Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman. Kehadirannya seketika menciptakan riak kejut yang merambat cepat di antara kerumunan. Bisikan-bisikan tertahan, mata-mata menoleh, skeptisisme bercampur rasa ingin tahu. Orang nomor satu di Sulsel itu tidak datang dengan podium atau pengeras suara megah. Ia datang, secara harfiah, turun ke jalan, menemui massa, berdiri di antara mereka.
Panasnya emosi yang semula mendidih, perlahan berubah menjadi kehangatan aneh. Bukan karena mereda sepenuhnya, melainkan karena shock dan rasa hormat yang tak terucap. Gubernur Andi Sudirman melangkah maju, sorot matanya tajam namun juga memancarkan keprihatinan yang mendalam. Ia mengangkat tangannya, bukan untuk menghentikan, melainkan untuk meminta perhatian.
“Saudaraku sekalian, mari kita dengarkan. Mari kita bertenang sejenak,” suaranya memecah gemuruh. Ada kegetiran yang tak bisa disembunyikan dalam nada bicaranya. “Sudah ada korban jiwa. Ini bukan saatnya kita menambah luka. Saya mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk menahan diri. Mari kita jaga Sulsel tetap aman dan damai.”
Pesan itu, disampaikan langsung dari bibir seorang pemimpin yang berani menantang kerumunan, menancap dalam hati massa. Kata "korban jiwa" seperti belati dingin yang memecah bara emosi, mengingatkan kembali pada pangkal duka yang menyatukan mereka di jalanan itu. Pekikan berubah menjadi bisikan, bisikan menjadi keheningan yang tegang, hanya desau angin dan suara mobil yang lewat sesekali yang terdengar.
Andi Sudirman melanjutkan, menguraikan visi bukan sebagai perintah, melainkan sebagai ajakan dari hati ke hati. Ia berbicara tentang pentingnya menjaga stabilitas, tentang Makassar, tentang Sulawesi Selatan yang mereka semua cintai. "Kita semua mencintai daerah ini. Mari kita rawat kedamaian, saling menghormati, dan menjaga persatuan demi masa depan Sulawesi Selatan yang lebih baik," ujarnya, menunjuk ke arah lautan wajah di hadapannya.
Kehadirannya menjadi jangkar ketenangan di tengah badai. Bukan sulap, bukan ilusi, melainkan kekuatan sebuah tindakan nyata. Keputusan untuk hadir, untuk mendengarkan, untuk berbicara tanpa jarak, mengubah atmosfer yang semula penuh gejolak menjadi kondusif. Massa merasa didengar, diakui, dan dihormati. Amarah tidak lenyap sepenuhnya, namun ia mereda, memberi ruang pada nalar dan harapan.
Malam itu, di Jalan Urip Sumohardjo, bukan hanya sebuah unjuk rasa yang berlangsung. Malam itu, sebuah jembatan dibangun di atas jurang ketidakpercayaan. Di bawah kilau redup lampu jalan, harapan baru terbentuk, sebuah janji tak terucap bahwa aspirasi akan didengar, dan kedamaian adalah harga mati untuk masa depan bersama. Gubernur Andi Sudirman Sulaiman tidak hanya menenangkan massa; ia menabur benih-benih persatuan di tanah yang kering karena perbedaan, sebuah langkah kecil yang mungkin akan tumbuh menjadi pohon perdamaian yang kokoh di Bumi Anging Mammiri.