Pos Timur,
MAROS - Di tengah dinamika penegakan hukum yang seringkali identik dengan vonis dan penjara, Kejaksaan Negeri (Kejari) Maros hadir dengan pendekatan yang lebih humanis dan restoratif. Sepanjang Januari hingga Agustus 2025, enam perkara pidana umum berhasil diselesaikan melalui mekanisme restorative justice (RJ), sebuah bukti nyata pergeseran paradigma menuju keadilan yang memulihkan.
Enam kasus ini, yang merentang dari penganiayaan, pencurian ringan, hingga pelanggaran lalu lintas, bukan sekadar dihentikan. Mereka adalah kisah-kisah tentang rekonsiliasi, pemulihan, dan kesempatan kedua. Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejari Maros, Muhammad Ridwan, dalam konferensi pers pada Senin, 2 September 2025, menegaskan bahwa proses ini bukanlah jalan pintas "asal hentikan."
"Semua harus memenuhi syarat yang ketat," ujar Ridwan, menggarisbawahi komitmen Kejari Maros terhadap integritas dan keberhati-hatian. Proses RJ ini melibatkan tahapan yang telah diatur sesuai peraturan Kejaksaan, memastikan bahwa setiap perdamaian yang tercapai adalah hasil dari musyawarah yang tulus dan berdasar.
Wajah-Wajah di Balik Enam Perkara
Dari enam perkara tersebut, tiga di antaranya menyangkut kasus penganiayaan. Ada Rizki alias Kiki (19), Kadir bin Sampara (39), dan Hamzah bin Mansyur (35) yang kini mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki diri. Sementara itu, Muh Fiqri bin Sahabuddin (21) terlibat dalam perkara pelanggaran lalu lintas, dan Muhammad Rayyan bin Abdullah (28) terjerat kasus pencurian ringan. Satu kasus penganiayaan lainnya melibatkan M Asdar (27). Nama-nama ini bukan lagi sekadar daftar tersangka, melainkan individu-individu yang melalui proses RJ, diharapkan dapat kembali berkontribusi positif bagi masyarakat.
Syarat Ketat, Keadilan Substantif
Penerapan RJ bukanlah karpet merah bagi pelaku tindak pidana. Ridwan menjelaskan dengan terperinci sejumlah syarat yang tak bisa ditawar:
Ancaman Pidana Rendah: Tindak pidana tidak boleh melebihi ancaman lima tahun penjara.
Bukan Residivis: Tersangka tidak memiliki catatan sebagai pelaku kejahatan berulang.
Perdamaian dan Pemaafan: Adanya perdamaian dan pemaafan yang tulus dari kedua belah pihak, baik korban maupun pelaku.
Kerugian Terbatas: Nilai kerugian yang ditimbulkan tidak boleh melebihi Rp2,5 juta.
"Misalnya dalam kasus pencurian ringan, kerugiannya tidak sampai Rp2,5 juta, pihak korban memaafkan, dan pelaku berjanji tidak mengulangi perbuatannya," jelas Ridwan, memberikan gambaran konkret bagaimana syarat-syarat ini diterapkan. Ini menunjukkan bahwa fokus utama adalah pada pemulihan hubungan dan tanggung jawab, bukan sekadar hukuman.
Lebih dari itu, Ridwan menegaskan filosofi di balik RJ: "Kami tidak mengejar kuantitas perkara RJ. Justru kualitas penyelesaiannya yang kami tekankan, agar benar-benar memberi rasa keadilan, baik bagi korban maupun pelaku." Ini adalah pernyataan kuat yang menempatkan keadilan substantif dan manfaat sosial di atas statistik semata.
Manusiawi dan Berlandaskan Maaf
Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Maros, Febriyan, melihat penerapan RJ sebagai terobosan yang "memberi ruang yang lebih manusiawi dalam penyelesaian perkara-perkara ringan." Baginya, esensi dari proses ini terletak pada kekuatan rekonsiliasi. "Yang terpenting dalam proses RJ adalah adanya maaf dari kedua belah pihak," tegas Febriyan.
Visi Kejari Maros jelas: terus mendorong optimalisasi penerapan RJ, namun tak akan sesekali pun mengabaikan koridor hukum yang berlaku. "Kalau semua syarat terpenuhi, kami tentu membuka ruang RJ. Namun jika tidak, perkara tetap kami lanjutkan sesuai aturan hukum," pungkasnya.
Enam perkara yang diselesaikan melalui RJ di Maros ini adalah permulaan. Mereka adalah mercusuar harapan, menunjukkan bahwa sistem peradilan dapat menjadi lebih dari sekadar penuntut dan penghukum. Ia bisa menjadi fasilitator perdamaian, penyemai maaf, dan jembatan menuju masyarakat yang lebih adil dan harmonis. Kejari Maros telah memulai langkah penting ini, membuktikan bahwa keadilan sejati adalah yang memulihkan, bukan sekadar menghukum.(rh)