Pos Timur,
JAKARTA - Jakarta tenggelam dalam riuhnya demonstrasi. Suara teriakan massa bercampur dengan deru sirene yang membelah udara, membentuk simfoni kekacauan yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut ibu kota. Di tengah kemelut itu, Affan Kurniawan, dengan jaket hijau khasnya yang sedikit lusuh, meliuk lincah di antara kemacetan. Ia bukan bagian dari demo, juga bukan penegak hukum. Ia hanyalah seorang penunggang kuda besi, mencari nafkah, mengantar rezeki pulang untuk keluarga yang menanti.
Namun, takdir punya rencana lain. Di sudut jalan yang ramai, sebuah kendaraan taktis Brimob Polri, penanda kekuatan dan ketertiban, tiba-tiba menjadi palu godam tak terduga. Sebuah benturan keras, jerit tertahan, dan seketika, huma kehidupan Affan Kurniawan padam. Ia terhempas, tak lagi bernyawa, di aspal yang sama-sama kerasnya dengan takdir yang baru menimpanya.
Berita itu merambat cepat, melampaui riuh demonstrasi, menembus dinding-dinding institusi kepolisian. Di ruang kerjanya yang hening, di antara tumpukan dokumen dan telepon yang tak henti berdering, Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si., menerima kabar itu. Sebuah laporan singkat namun menusuk, mengenai seorang driver ojek online yang meninggal dunia akibat tertabrak kendaraan taktis anak buahnya.
Wajah Kapolri yang biasanya tegas, kini diselimuti mendung pilu. Bintang empat di pundaknya terasa begitu berat. Ini bukan sekadar insiden, ini adalah tragedi. Tragedi yang menodai seragam kebanggaan, mengoyak kepercayaan publik, dan merenggut satu nyawa tak berdosa yang sedang berjuang mencari nafkah. Bayangan wajah Affan, lelaki biasa yang kini terbaring kaku, seolah hadir di benaknya. Ia seorang pimpinan, penanggung jawab, dan kini, ia juga seorang manusia yang merasakan duka yang amat dalam.
"Duka cita mendalam..." lirihnya, seperti mengulang kata-kata yang akan segera ia sampaikan di hadapan publik. Tapi kali ini, kata-kata itu bukan sekadar formalitas. Itu adalah jeritan hati seorang pemimpin yang merasa gagal melindungi rakyatnya, bahkan di tengah tugas pengamanan.
Ia segera mengarahkan Kadiv Propam Polri. "Usut tuntas!" perintahnya, tanpa kompromi. Tidak ada ruang untuk menutupi, tidak ada celah untuk berspekulasi. Kejadian ini harus terang benderang, demi keadilan bagi Affan, demi kepercayaan publik, dan demi integritas institusi Polri itu sendiri.
Bukan hanya penegakan hukum, evaluasi menyeluruh juga menjadi prioritas. Bagaimana pengamanan demonstrasi ke depan bisa lebih baik? Bagaimana mencegah tragedi serupa terulang? Sebuah kendaraan taktis, seharusnya menjadi pelindung, bukan pembawa maut. Ini adalah pelajaran pahit, yang harus dibayar mahal dengan nyawa Affan.
Di hadapan media, dengan sorot mata yang tak bisa menyembunyikan kesedihan, Kapolri menyampaikan apa yang ada di hatinya. "Mudah-mudahan semuanya bisa tetap terjaga dan ke depan semuanya bisa kelola dengan lebih baik. Sekali lagi mohon maaf atas peristiwa yang terjadi, kami mewakili keluarga besar institusi Polri menyampaikan duka cita yang mendalam dan permohonan maaf yang sebesar-besarnya."
Kata-kata itu terucap bukan hanya sebagai pernyataan resmi, melainkan sebagai pengakuan tulus atas kesalahan, atas kelalaian, dan atas jatuhnya korban. Sebuah permohonan maaf yang diucapkan seorang Jenderal, kepada keluarga seorang driver ojek online yang kini tinggal nama.
Bayangan di balik sirene itu, di tengah hiruk pikuk Jakarta, adalah bayangan Affan Kurniawan. Dan di balik seragam Kapolri yang gagah, ada seorang pemimpin yang menanggung duka, berjanji membenahi, dan berharap, semoga dari tragedi ini, ada pelajaran berharga yang memastikan tak ada lagi nyawa tak berdosa yang terenggut di tengah tugas negara. Rasa duka itu, adalah bara api yang akan membakar semangat perubahan dalam tubuh institusi Polri.(rh)