Tutup Menu

Membakar Api Perlawanan Eksekusi Cambalagi

Minggu, 17 Agustus 2025
Aksi penolakan eksekusi Cambalagi di gedung DPRD Maros beberapa hari yang lalu
    
Pos Timur, MAROS - Pertama-tama penulis ingin menegaskan bahwa tidak semua putusan perdata yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dapat di eksekusi. Dalam hukum acara perdata beberapa kondisi berdampak pada putusan yang inkracht tidak dapat dilaksanakan eksekusi karena cacat hukum.

Persoalan hukum yang menghantam tanah Cambalagi secara bertubi-tubi dimulai sejak 26 tahun silam (tahun 2000-an). Kala itu pengadilan tingkat pertama memutus perkara Cambalagi NO (Niet Ontvankelijke Verklaard) yang berarti gugatan tidak dapat diterima karena adanya cacat formil pada gugatan penggugat yang menyebabkan gugatan tidak memenuhi syarat untuk diperiksa lebih lanjut. Perlu diketahui bahwa ada aspek formal yang harus dilihat secara kritis dalam kaca mata hukum terkait kasus Cambalagi :

1. Bahwa adanya para pihak yang harusnya digugat karena berada dalam objek sengketa menjadi kesalahan penggugat dalam menentukan pihak yang berperkara (error in persona), serta tidak jelasnya batas-batas objek sengketa dalam gugatan (obscuur libel) menjadikan putusan cacat hukum karena batas objek sengketa tidak jelas atau kabur membuat putusan eksekusi tidak dapat dilaksanakan demi hukum.

2. Ada fakta hukum yang harus dipertimbangkan pengadilan jika ingin melaksanakan putusan eksekusi Cambalagi. Bahwa didalam objek sengketa terdapat sertifikat hak milik (SHM) yang dikantongi beberapa ahli waris, tetapi penggugat tidak melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai turut tergugat, sementara BPN sebagai pihak yang memiliki kewenangan dalam melakukan pendaftaran dan penerbitan sertifikat tanah. Akibatnya putusan tersebut tidak dapat di eksekusi karena yang menang dalam perkara akan alami kesulitan mendapatkan haknya disebabkan BPN tidak terikat oleh Putusan.

Didalam objek sengketa tanah Cambalagi terdapat pemukiman warga, masjid, pondok pesantren, pemakaman umum, dan empang yang menjadi mata pencaharian penduduk setempat. Kekalahan masyarakat Cambalagi bermula pada tahun 2007, dimana penggugat mendaftarkan kembali gugatannya di Pengadilan Negeri Maros pasca diputus NO pada tahun 2000. Namun mirisnya, hakim yang memeriksa perkara di tahun 2007 tidak melakukan pemeriksaan setempat (PS) terhadap objek perkara sebelum menjatuhkan putusan, padahal batas dan luas objek sengketa sangat kontra meski dilihat dengan mata telanjang bahwa batas-batas objek sengketa dalam gugatan penggugat adalah keliru, tidak jelas, dan sangat tidak masuk akal karena luasnya bisa mencapai 100 hektar, sementara luas objek yang digugat hanya sekitar kurang lebih 35 hektar.

Penting untuk diingat, bahwa pengadilan sebagai instrumen Negara yang menjalankan putusan hukum, sedangkan polisi menjadi alat Negara yang bertanggung jawab masalah keamanan tidak boleh serta-merta dan sewenang-wenang beralasan demi kepentingan hukum harus melaksanakan putusan eksekusi Cambalagi. Hak-hak dan kedudukan hukum warga Cambalagi yang sudah puluhan tahun berada di objek sengketa harus pula dilihat kepentingan hukumnya secara adil dan setara serta latar belakang sosialnya.

Penulis tidak mau terburu-buru melontarkan kecaman bahwa telah terjadi peradilan sesat dalam perkara Cambalagi, sebab marwah institusi peradilan di Negeri ini harus tetap dijaga dan dijunjung tinggi dengan penuh rasa hormat. Namun saya hanya ingin mengajak publik dan mengetuk hati nurani para pemangku kebijakan bahwa persoalan hukum Cambalagi bukanlah sekedar kewajiban menjalankan putusan eksekusi tanpa melihat adanya fakta-fakta hukum yang terabaikan selama persidangan. Lebih dari itu, melaksanakan putusan eksekusi Cambalagi hanya akan memancing amarah publik untuk melawan yang berpotensi terjadinya Caos dilahan eksekusi apabila benar-benar dilaksanakan eksekusi. Menghadap-hadapkan aparat dengan rakyat bukanlah keputusan yang tepat, karena pengadilan sebagai lembaga peradilan yang mengadili demi lahirnya sebuah keadilan dan kebenaran mestinya lebih bijak dalam menghadapi gejolak perlawanan eksekusi Cambalagi yang akan terus berkumandang di ruang-ruang publik dan tumbuh berkali-kali lipat.

Kenapa Cambalagi tidak boleh di eksekusi??? Haruslah dijawab secara tegas dan berani bahwa putusan eksekusi Cambalagi cacat hukum yang hanya akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Negeri ini jika dilaksanakan, baik ditinjau dari aspek yuridis maupun sosial serta berpotensi melanggar hak asasi manusia berdasarkan prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya dihadapan hukum (equality before the law).

Tahun 2025, agenda perlawanan eksekusi Cambalagi memasuki babak baru. Kita tak lagi sekedar berdiri tegak membusungkan dada lalu berteriak lantang penuh emosi menolak eksekusi. Namun lebih dari itu menelusuri celah hukum harus dikaji sebagai senjata perlawanan yang strategis untuk mengambil tindakan hukum yang tepat dan relevan untuk mencapai ending, yaitu putusan eksekusi Cambalagi dinyatakan tidak dapat dilaksanakan secara paksa (Non Executable).

Sekali lagi penulis ingin tegaskan, di Negara hukum mari kita sepakat bahwa hukum adalah panglima tertinggi untuk meraih puncak keadilan. Jika kita bulat menilai putusan eksekusi Cambalagi cacat hukum maka kita tidak boleh hanya berpasrah diri dalam posisi bertahan dan bersiap menghadapi segala resiko apabila eksekusi dilaksanakan, tapi melawan demi hukum dapat menjadi salah satu pilihan yang masih terbuka dan sah sesuai prosedur hukum untuk memperoleh tahta keadilan paling tinggi dalam sejarah panjang perlawanan eksekusi Cambalagi.

Percayalah, keadilan akan menemukan tuannya jika kita mengambil langkah cerdas dan tepat dengan gagah berani serta meletakkan kebenaran sebagai senjata perlawanan yang akan merontokkan kejahatan dan ketidakadilan.

Tak ada alasan untuk kita terpecah belah. Cambalagi adalah aset ummat yang
harus dijaga sebagai warisan peradaban pendidikan islam yang telah mencetak
ribuan santri selama bertahun-tahun. Cambalagi yang didalamnya berdiri kokoh pondok pesantren menjadi tonggak awal lahirnya generasi berkarakter dan berakhlak, maka sudah menjadi kewajiban kita semua bersatu lebih kuat untuk membantu Cambalagi mengakhiri bayang-bayang eksekusi.

“Fiat Justitia Ruat Caelum”
Hendaklah Keadilan Ditegakkan Walaupun Langit Akan Runtuh

Penulis,
Abdul Rauf Mappatunru, S.H

Dapatkan Info Teraktual dengan mengikuti Sosial Media PosTimur.net